Esai Sulaiman Djaya

Jiwa Anak Desa

Seseorang dibentuk oleh lingkungannya. Oleh masyarakat dan kemajuan peradaban serta ilmu pengetahuan di mana ia tinggal. Demikian penyederhanaan yang saya lakukan ketika membaca filsafat sejarahnya Friedrich Hegel dan filsafat manusia-nya Martin Heidegger ketika aktif di lembaga kajian mahasiswa saat masih numpang duduk di sebuah kelas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pula, pikiran dan kecerdasan seseorang dibentuk oleh resource atau modal dan ketersediaan sosial-kulturalnya. Sebagai contoh, seseorang yang hidup di lingkungan yang lembaga riset, laboratorium, dan universitas-universitasnya lebih canggih dan maju akan lebih memiliki peluang besar untuk mengembangkan kecerdasan saintifiknya karena keterwadahan bakatnya oleh lembaga sosial dan institusi budaya dii tempatnya hidup dan berada.

Saya sendiri hidup di sebuah dunia dengan kondisi sosial dan kultural masyarakat dan alam pedesaan saya, karena saya dilahirkan di keluarga petani di sebuah jaman ketika listrik dan internet belum menjadi bagian dalam kehidupan kami sebagai orang-orang desa. Tapi berkat kehidupan di pedesaan itulah, saya atau katakanlah jiwa saya, intim dengan alam.

Bersama teman-teman saya, saya berburu belalang di saat hujan mengguyur sawah-sawah dan pematang. Kami serahkan belalang hasil buruan kami itu kepada ibu-ibu kami untuk digoreng sebagai lauk menu makan kami. Rasanya enak dan gurih. Itulah salah-satu kegembiraan saya di masa kanak-kanak.

Dunia bermain kami itu bertambah leluasa dan bebas ketika libur panjang, ketika kami tak perlu berangkat ke sekolah untuk waktu yang cukup lama, sehingga kami bisa melakukan apa saja yang ingin kami lakukan, seperti bermain sepakbola di sawah atau di lapangan upacara di sekolah kami. Di waktu yang lainnya kami akan menerbangkan layang-layang kami, juga di hamparan sawah-sawah dan pematang, yang kami kendalikan dengan seutas benang yang cukup panjang hingga layang-layang kami itu dapat terbang tinggi seperti pesawat terbang atau seumpama para burung yang seringkali beterbangan secara berkelompok di atas hamparan sawah dan pematang. .

Kami punya banyak waktu bermain, meski kadangkala saya harus juga menyempatkan mematuhi ibu saya untuk membantunya bekerja di sawah. Sekedar mengerjakan apa saja yang sesuai dengan kemampuan saya tentu saja, seperti mengangkut batang-batang padi yang telah dipotong dengan arit oleh ibu saya untuk ditumpuk menjadi satu gundukan sehingga akan memudahkan ibu saya mengurai biji-biji padinya dengan cara memukul-mukulkannya ke sebuah alat yang disebut gelebotan.

Sebagai kanak-kanak, kami juga bisa kecewa jika permintaan dan keinginan kami tidak dapat dipenuhi oleh orang tua-orang tua kami. Terlebih lagi orang tua-orang tua kami hanya bekerja sebagai petani yang memiliki pendapatan tak tetap, berbeda dengan mereka yang bekerja di pemerintahan dan pabrik-pabrik atau mereka yang mendapat gaji dengan pekerjaan mereka, semisal para guru Sekolah Dasar kami. Ibu saya sendiri bahkan acapkali harus menunda bayaran iuran (SPP) sekolah karena harus memprioritaskan untuk makan kami sehari-hari.

Keakraban saya dengan lumpur, padi-padi, rumput, sawah, pematang, para burung, air, dan yang lainnya, telah sedemikian membatin dan menjadi bagian dari perenungan-perenungan saya ketika saya tidak lagi seorang bocah. Tapi, sekali lagi, penting untuk dipahami bahwa keintiman pada masa kanak-kanak itulah yang telah menjadikan saya sebagai seorang yang memandang alam bukan sebagai objek yang harus dikuasai, tapi dijaga dengan rasa cinta, sebab derita dan kerusakannya adalah derita dan kerusakan kehidupan manusia.

Alam dan pedesaan-lah yang telah memberi saya bahasa dan metafora. Kejujuran, kecerdasan, dan kepekaan. Mengajarkan saya bagaimana ketulusan dan kejujuran diwujudkan, sebagaimana kejujuran dan ketulusan orang-orang bersahaja yang tak mengurusi dana anggaran yang mereka curi, di saat mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Rasionalitas instrumental mereka ternyata telah membunuh kecerdasan dan kejujuran mereka. Sejumlah anomali karakterteristik dari apa yang disebut modernitas.

Alam dan pedesaan pula yang telah mengajarkan saya untuk merenung dan berpikir. Di sore hari, misalnya, ketika saya menjalankan tugas dari ibu saya untuk menunggui padi-padi yang telah menua dan menguning dari serbuan para burung, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.

Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu sebenarnya saya tak hanya dapat memandangi capung-capung yang dapatlah kita umpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang.

Saya tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Saya tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Saya akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin kita.

Sedemikian membatin-nya impressi alam kepada jiwa saya, saya di kemudian hari disadarkan tentang kontradiksi masyarakat modern yang memperkosanya. Korporasi dan kapitalisme, demikian para pelakunya, yang lahir dari hasrat dan cara berpikir antroposentris dan paradigma rasionalitas instrumental masyarakat modern yang justru mendaku sebagai masyarakat yang tercerahkan, tapi malah melahirkan karakteristik dan sifat rakus dan korup.

Seperti itu pula, masyarakat-masyarakat adat dan tradisional yang dulu patuh dengan kearifan lokal ekologis mereka, kini ikut juga terbawa arus anomali karakter masyarakat dan dunia modern. Baduy Banten, sebagai contohnya, pelan-pelan mulai tergerus keyakinan dan kepercayaan local wisdom mereka ketika mereka menjalani rutinitas seba ke Kota Serang, Banten tiap tahunnya, yang karena seba itu generasi muda mereka berjumpa dengan konsumerisme dan materialisme masyarakat kota Serang yang menjadikan mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat-tempat ritual baru. Terlebih lagi, ritual tahunan Seba Baduy itu sarat dengan motif dan kepentingan ekonomis atau paradigma rasionalitas instrumental pemerintah provinsi Banten melalui dinas terkait sebagai ‘komoditas’ pariwisata. Belum lama ini, sebagai contoh, kejahatan (pembunuhan) juga telah hadir di lingkungan masyarakat Baduy Banten, sesuatu yang sebelumnya tak ada.

Modernitas yang mereka banggakan lahir dari pencerahan Eropa itu ternyata melahirkan anomali karakteristik dalam diri manusia, seperti watak eksploitatif di kalangan para borjuis dan korporat serta budaya konsumtif di kalangan masyarakat kebanyakan. Bersama dengan itu semua adalah produksi sampah (residu) yang mengancam dan merusak lingkungan dalam skala dan ukuran yang juga sangat mengkhawatirkan.

Kritik filosofis terhadap paradigma antroposentrisme modernitas dan rasionalitas instrumental, serta perspektif ekologis dalam memandang dunia dan semesta, justru telah disiapkan oleh filsafat realitas dan metafisika-nya Mulla Sadra, yang kelak disuarakan pula oleh Fritjof Capra yang menimba kearifan Timur itu, bahwa adanya semesta merupakan seumpama satu tubuh dan manusia hanyalah salah-satu dari ‘ekosistem akbar’ dunia dan semesta.

Kronik

Absurditas Tatanan Dunia

oleh Dina Sulaeman (Pikiran Rakyat 13 Januari 2020)

Serangan udara militer AS terhadap dua tokoh penting dalam peperangan melawan ISIS di Timur Tengah, Jenderal Qassem Soleimani (komandan Pasukan Al Quds, Iran) dan Abu Mahdi Al Muhandisi (komandan pasukan Hashd Al Shaabi, Irak), telah memunculkan kegaduhan besar di dunia internasional. Apalagi kemudian Iran melakukan serangan balasan dengan meluncurkan rudal ke pangkalan militer AS di Ain Al Assad Irak pada Rabu dini hari (8/1). Kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia ke-3 muncul seiring dengan kekhawatiran akan naiknya harga minyak dunia yang pasti akan berimbas kepada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Presiden AS Donald Trump merespon serangan itu dengan pernyataan de-eskalasi (penurunan ketegangan), yaitu AS tidak akan berperang dengan Iran. Ada banyak analisis yang dikemukakan atas respon Trump, di antaranya, AS ditengarai mengkhawatirkan keamanan Israel yang akan terancam bila perang berlanjut. Analisis lainnya menyatakan bahwa pernyataan yang lunak itu muncul karena sekutu AS di kawasan dan di NATO ternyata tidak memberikan dukungan kepada AS untuk melanjutkan perang.

Sementara ini ketegangan terlihat semakin menurun karena fokus negara-negara yang terlibat terdistraksi oleh kasus kecelakaan pesawat Ukraine Airlines. Pesawat itu lepas landas dari Imam Khomeini International Airport, Teheran, lima jam setelah penembakan rudal ke Ain Al Assad. Angkatan Bersenjata Iran telah mengakui, dan menyatakan penyesalan mendalam, atas terjadinya human error yang menyebabkan pesawat itu tertembak oleh Sistem Pertahanan Udara (Air Defence System).

Di tengah dinamika konflik ini, kita perlu mempertanyakan ulang, mengapa tatanan dunia menjadi sedemikian absurd? Mengapa dalam konflik ini, PBB seolah tumpul, tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pengawal perdamaian dunia? Mengapa sebuah negara bisa dibiarkan melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan terhadap negara lain, termasuk membunuh pejabat negara lain?

Dunia seharusnya belum lupa bahwa AS menginvasi Irak pada 19 Maret 2003 tanpa izin PBB. Tujuan utama operasi militer AS adalah regime change atau mengakhiri pemerintahan Saddam Husein dan ‘membantu rakyat Irak untuk membentuk pemerintahan demokratis’. Saddam terguling hanya dalam sebulan, namun tentara AS terus berada di Irak hingga delapan tahun berikutnya. Selama perode itu AS dilaporkan melakukan banyak kejahatan kemanusiaan. Di antara kasus yang mendapatkan banyak liputan media adalah penyiksaan di penjara Abu Ghraib, pembunuhan dan pemerkosaan di Mahmudiya, pembunuhan massal di Haditha, serta penggunaan bom yang mengandung depleted uranium dan fosfor putih di Falluja. Bom itu diduga kuat menjadi penyebab atas banyaknya bayi yang terlahir dalam berbagai kondisi mengerikan di Falluja.

Menurut survei yang dilakukan tim peneliti internasional yang bekerja sama dengan pemerintah Irak, pada rentang 2003-2011, total warga Irak yang tewas mencapai setengah juta orang, 60% dari angka ini tewas akibat penembakan, pengeboman, serangan udara, atau kekerasan lainnya. Sisanya tewas akibat sebab-sebab ‘tak langsung’, misalnya akibat buruknya sanitasi atau tidak adanya rumah sakit.

Namun demikian, tidak ada hukuman yang bisa diberikan oleh komunitas internasional atas kejahatan ini. AS belum meratifikasi Statuta Roma, sehingga tidak bisa dilakukan penuntutan terhadapnya di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). Negara yang bukan peratifikasi Statuta Roma hanya bisa dituntut di ICC bila Dewan Keamanan PBB memberi mandat. Namun tidak mungkin mandat itu turun karena AS punya hak veto dan tentu saja akan memveto resolusi apapun yang merugikannya.

Menlu Iran Javad Zarif dalam menjelaskan serangan balasan negaranya ke pangkalan AS di Irak, mengutip Piagam PBB Pasal 51 Bab 7 yang menyebutkan bahwa negara anggota berhak untuk mempertahankan diri secara sendirian, maupun secara kolektif, bila terjadi serangan terhadapnya, hingga Dewan Keamanan PBB mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan perdamaian dunia dan keamanan. Namun pasal ini tidak memberi solusi jika ternyata Dewan Keamanan PBB tidak melakukan langkah apapun. Apalagi, DK PBB juga dengan mudah dijegal oleh hak veto yang dimiliki negara-negara anggota tetap (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China).

PBB juga tumpul dalam melindungi keselamatan negara-negara yang diserang oleh milisi teroris yang berjejaring secara transnasional, seperti ISIS. Kita menyaksikan betapa besarnya kekuatan ISIS mulai dari persenjataan, dana, dan perlindungan mobilitas. Petempur ISIS yang datang dari berbagai negara bisa masuk ke Suriah tentu saja melewati negara-negara yang berbatasan dengan Suriah. PBB tidak bisa mencegah apalagi menghukum negara-negara yang sudah terindikasi kuat menyalurkan dana, senjata, dan berbagai perlindungan kepada ISIS.

Salah satu contoh kasus, lembaga penelitian Conflict Armament Research (CAR) menemukan bahwa tank anti-misil berjenis 9M111MB-1 (Anti-Tank Guided Weapon Missile Tube) buatan tahun 2015 yang digunakan ISIS melawan tentara Irak di Al Ramadi (2016) ternyata diproduksi Bulgaria dan dijual kepada militer AS pada 12 Desember 2015. Laporan dari Balkan Investigative Reporting Network (BIRN) dan Organised Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada 2016 menyebutkan terjadinya penjualan senjata seharga 1 miliar Euro dari negara-negara Eropa timur, seperti Bosnia, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Montenegro, Slovakia, Serbia dan Romania kepada negara-negara Timur Tengah dan kemudian jatuh ke tangan milisi-milisi di Suriah. Penjualan senjata seperti ini telah melanggar perjanjian internasional Arms Trade Treaty (ATT), namun PBB seolah tidak berdaya mengimplementasikannya.

Klimaksnya, pada tanggal 3 Januari 2020 dini hari, AS membunuh dua orang yang paling berjasa dalam perang melawan ISIS. Menyusul pembunuhan ini, Parlemen Irak telah merilis resolusi yang memerintahkan agar tentara AS angkat kaki dari Irak. Namun pada Jumat (10/1) pemerintah AS sudah menyatakan menolak keluar dari Irak, dengan alasan bahwa pasukannya diperlukan untuk melanjutkan perang melawan ISIS. Jika benar AS hadir di Irak untuk melawan ISIS, lalu mengapa tokoh yang yang melawan ISIS malah dibunuh? Pelanggaran terhadap hukum internasional yang dibiarkan berkali-kali terjadi telah membuat masa depan dunia semakin absurd.