Poetry in Translation

I Just Wish To Be Close

Perempuan Merenung

Poem of Sulaiman Djaya

I believe in something, whose splendor
resembles it to a reflection of light
on the water. And boundaries
have teased me no longer.

I only wish to be close to everything
that refuses to greet me. I only wish
to get intimate and get used
to the gloom and to the bright

without any suspicion or fear of betrayal
that comes as I am defenseless.
And I do not wish to do something
without wanting to do it at once.

I only wish to understand everything
and to be there, when my eyes are asleep
yet they’re gazing at the long
and slow moving sound and motion.

–Transl. from Indonesian by Nikmah Sarjono 

I Just Wish To Be Close by Sulaiman Djaya

Roman Sulaiman Djaya

Kupu-Kupu Pohon Rosella

Lukisan karya Subbaiyan Balakrishnan

Diseruputnya secangkir kopi hitam –dan dihisapnya batangan rokok kretek kesukaannya. Saat itu ia sedang membayangkan waktu, yang orang-orang menyebutnya sebagai jam, hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun, tapi bukan itu waktu yang ia pahami dan yang ia mengerti, melainkan kenangan dan ingatan, sejumlah moment-moment yang membuatnya pernah merasa bahagia atau kecewa.

Dalam benaknya terbersit sebuah pertanyaan dari mana ia harus mulai untuk menulis di lembar-lembar catatan harian kesayangannya itu? Sungguh sulit sekali untuknya menemukan simpul pertama dari ceceran dan serakan ingatan yang telah tercerai-berai –yang sebagian besar telah terlupakan. Meski demikian, rasanya ia akan merasa bersalah bila mencampakkan yang masih tersisa sebagai kenangan. Tapi akhirnya ia ingin memulainya dari kupu-kupu di pagihari dan senja yang sesekali ia lihat di barisan pohon Rosella yang ditanam Ibunya tersayang, ketika hari bersimbah cuaca dingin atau di kala iklim berubah cerah selepas hujan menjelang siang.

Kala itu adalah masa-masa di tahun 1980-an, ketika Ibunya tersayang memetik buah Rosella, sementara ia asik memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella itu, yang warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari senja. Ia sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi ke tempat yang ingin ia ziarahi.

Keesokan harinya Ibunya tersayang akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum mereka akan menggoreng dan menumbuknya bersama menjadi bubuk kopi yang akan mereka bungkus dengan plastik-plastik kecil yang dibeli Ibunya dari warung. Kakak perempuannya-lah yang akan memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan ia yang menjahit ujung plastik-plastik yang telah berisi bubuk kopi Rosella itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.

Ia bisa membeli buku-buku tulis sekolahnya dari menjual bubuk kopi Rosella yang ditanam Ibunya itu, pohon-pohon Rosella yang acapkali disinggahi sejumlah kupu-kupu, selain dihinggapi dan diziarahi para kumbang.

Mereka sudah terbiasa hidup bersahaja dan memperoleh rizki mereka dari Tuhan mereka dengan perantaraan pohon-pohon ciptaan Tuhan mereka yang ditanam Ibundanya tersayang: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, dan lain-lain yang kemudian dijual dan dijajakan Ibunya setelah Ibunya mengunduh dan memanennya.

Ia sendiri hanya bisa membantu Ibunya sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala ia absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-teman seusianya.

Hidup mereka sendiri, barangkali, dapatlah kita umpamakan seperti kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan yang tak terelakkan. Mungkin pembaca ingin tahu kenapa mereka diumpamakan dengan kupu-kupu? Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan penyerbuk kembang dan bunga.

Kehadiran kupu-kupu dan para kumbang itu merupakan berkah bagi para petani, orang-orang desa yang hidup sederhana dan bersahaja, yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah tanaman yang buah-buahnya dapat dijual Ibunya. Keberadaan kupu-kupu dan para kumbang yang singgah di kembang-kembang tanaman itu adalah siklus alam dan kelahiran bagi mereka, para petani.

Mereka, para kupu-kupu dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka itu, akan datang tanpa mereka undang bila tanaman-tanaman yang mereka tanam telah berbunga, entah mereka datang di pagihari atau di senjahari. Memang ia sendiri baru menyadarinya di saat ia tak lagi hidup seperti di masa-masa itu –sebuah pemahaman yang memang terlambat. Tetapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak menyadarinya sama-sekali?

Ia juga masih ingat ketika Ibunya membuat sambal dari kulit buah Rosella yang berwarna merah itu agar sambal yang dibuat Ibunya itu cukup untuk semua anggota keluarga, sebab cabe rawit yang mereka tanam tidak sebanyak seperti mereka menanam singkong, ubi jalar, kacang panjang, dan Rosella.

Di saat ia sudah kuat memegang cangkul, kalau tak salah ketika ia telah duduk di sekolah menengah pertamanya, sesekali dirinya-lah yang mengolah tanah dan membuat gundukan batang-batang pematang di mana mereka menanam kacang dan Rosella. Tak jarang ia juga yang menyiraminya di waktu sorehari.

Itu adalah masa-masa di tahun 80-an ketika mereka menggunakan batang-batang kayu kering untuk menyalakan dapur dan memasak. Sebab mereka hanya mampu membeli minyak tanah cuma untuk bahan bakar lampu-lampu damar mereka demi menerangi malam-malam mereka.

Aktivitas lain yang ia lakukan adalah menunggui padi-padi dari serbuan para burung di sorehari selepas sekolah, di saat biji-biji padi itu mulai menguning. Seingatnya, ia suka sekali duduk (mungkin dari situlah ia mulai terbiasa merenung dalam kesendirian) di dekat serimbun pohon bambu yang tumbuh rindang dan asri di dekat sawah yang ditungguinya dalam kesepian dan kesendirian itu.

Saat itu, ia juga, tentu saja, akan selalu menarik ujung tali yang ia pegang, beberapa meter tali yang ujung lainnya terikat ke orang-orangan sawah yang dibuat oleh Ibunya. Mereka menyebut orang-orangan sawah dari jerami, bilahan-bilahan bambu, dan kain-kain bekas itu, dengan nama jejodog.

Sulaiman Djaya (2009). Ilustrasi: Lukisan karya Subbaiyan Balakrishnan 

Sulaiman Djaya oleh Asep Syahri Fajri 3