Filsafat

Ketika Para Filsuf Menulis Risalah Cinta

Amsal Cinta Sulaiman Djaya

Dalam hidup manusia hanya ada satu kepastian: yaitu kepastian tentang masa lampau. Sedangkan tentang masa depan: kepastian tentang kematian. Kira-kira demikian jika kita melakukan simplikasi yang sangat simplistis atas filsafat Martin Heidegger dalam Being and Time-nya itu. Tetapi Martin Heidegger juga tak urung untuk bicara soal cinta –barangkali karena ia jatuh cinta kepada mahasiswi-nya yang kemudian menjadi filsuf juga: Hannah Arendt.

Manusia di segala zaman dan kebudayaan tempat ia hidup telah dihadapkan pada pertanyaan yang sama, yaitu: “Bagaimana cara mengatasi keterpisahan, meraih kesatuan, mentransendensikan kehidupan, atau menemukan kebahagiaan ketika mencintai seseorang?” Dan sebagaimana diamini banyak filsuf dan pujangga, salah-satu unsur yang sangat dominan dalam diri dan hidup manusia selain thanatos (hasrat pada kematian) adalah eros (cinta atau hasrat pada kehidupan).

Di sini, beberapa filsuf, dari para filsuf Yunani klasik hingga para filsuf kontemporer, contohnya, tak urung menulis sejumlah risalah tentang cinta.

Mereka contohnya menulis bahwa cinta adalah kesatuan dengan sesuatu atau seseorang di bawah kondisi saling tetap mempertahankan integritas. Yang lain menyatakan bahwa cinta adalah kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia.

Yang lainnya lagi menulis bahwa cinta selalu memuat elemen-elemen dasar tertentu, yaitu: perhatian, tanggung-jawab, penghargaan (respek), serta pemahaman.

Sikap respek akan melahirkan saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Bahwa si A menghormati perempuan yang disayanginya karena perempuan itu pandai mengungkapkan perasaan dan imajinasinya ke dalam tulisan, dan si A menemukan sisi keindahan dari jiwa perempuan yang dicintainya tersebut karena tulisan-tulisannya, sebagai contohnya.

Sikap peduli (care) pada akhirnya tak terpisahkan dengan tanggung-jawab, yang karenanya si Anu berusaha untuk memahami seseorang yang dicintainya, tidak egois, melahirkan sikap sabar. Bukti bahwa cinta memuat kepedulian dan perhatian (care) nampak jelas dalam cinta seorang ibu terhadap anaknya.

Begitulah, sebagaimana dirisalahkan para filsuf dan pujangga, dari Plato hingga Erich Fromm, perhatian dan kepedulian (care) memuat juga aspek lain dari cinta, yaitu tanggung-jawab. Tetapi tanggung-jawab bisa dengan mudah berubah menjadi dominasi sepihak jika tidak ada komponen ketiga, yaitu penghormatan atau penghargaan (respect). Demikian pula, sebagaimana digambarkan Plato dan Sokrates, tanggung-jawab akan buta jika tidak dituntun oleh pemahaman atau pengetahuan.

Tinggalkan komentar